Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Januari 2011

Sulit bagi kami untuk bercerita

Suatu ketika aku mau menidurkan buah hatiku yang terus menangis, karena kondisi memang  kurang enak badan, akupun bingung dengan dongeng apa yang harus kuceritakan. Mungkin aku bukanlah orang tua yang pandai mendongeng saat mau menidurkan buah hatiku. Akupun berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita dan fenomena saat ini. Tak lama terbersit dalam ingatanku cerita masa lalu ketika orang tuaku berusaha menidurkan aku. Waktu itu umurku belum genap 6 tahun, namun aku masih ingat betul apa yang diceritakan oleh bundaku saat itu. Beliau menceritakan betapa indahnya keadaan sawah di desa kami. Saat menjelang musim tanam padi,kedua kakakku yang semuanya laki-laki bersama-sama anak-anak di desa berburu belut di sawah. Hasil tangkapan lumayan buat lauk pauk dirumah

Gambar 1 : situasi berburu belut di sawah

          Kami sekeluarga tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman yang jauh dari keramaian kendaraan bermotor dan jauh bdari polusi. Gegap gempita anak-anak desa dalam berburu belut menjadi keasyikan tersendiri bagi kedua kakakku. Mereka benar-benar menikmati permaianan yang sangat mengesankan. Rasanya cerita itu ingin aku ceritakan kembali pada anakku, malam ini namun aku mengalami pergulatan batin yang berbeda. Bagaimana aku bisa memperhatankan cerita itu kepada anakku, apabila malam ini dia bisa tertidur dengan ceritaku, namun besok pagi dia menagih janji kepadaku untuk menunjukkan apa yang telah aku ceritakan semalam.
          Sungguh cerita ini teramat mahal bagiku apabila aku harus menunjukkan kondisi seperti itu. Karena sulit menemukan kondisi seperti itu.

Bahasan Cerita:
                         
            Seperti itulah kondisi yang terjadi sekarang,setelah lebih dari 25 tahun kita tidak bisa melihat kondisi alamiah di pedesaan dengan hamparan tanaman padi yang subur. Dan keaneka ragaman hayati yang terjaga, seperti halnya populasi belut yang terdapat di areal persawahan.
Bagimana tidak ? Karena petani telah banyak menggunakan pestisida kimiawi untuk memberantas hama. Kondisi semacam inilah yang bisa mengurangi bahkan merusak habitat asli  pada areal persawahan. Sebenarnya secara alami Tuhan telah mengaugerahkan alam dengan sistem kesimbangan yang memadai untuk kehidupan manusia, namun akibat ulah cerdik manusia yang selalu kejam terhadap lingkungan maka kesimbangan itu akan rusak. Sebagai akibatnya justru akan mengancam kehidupan manusia dengan berbagai bencana, timbulnya berbagai macam penyakit yang banyak diderita manusia.
Gambar 2 : Berbagai macam pestisida kimiawi

            Akibat dari penggunaan pestisida kimiawi akan banyak merusak lingkungan hidup. Masih terlihat jelas kisah Silent Spring yang pernah terjadi di dunia.  Silent Spring adalah sebuah buku yang ditulis oleh Rachel Carson dan diterbitkan oleh Houghton Mifflin pada tanggal 27 September 1962.Dalam tulisannya Rachel Carson menceritakan tentang kontribusi pestisida terhadap hancurnya ekosistem seperti matinya flora-fauna termasuk terganggunya kesehatan manusia, tetapi juga mendorong perubahan sikap dan sekaligus memotivasi mereka untuk melakukan aksi konkret meminta pemerintahnya melakukan tindakan drastis menghentikan penggunaan pestisida sebagai cara membasmi hama.
            Secara ekonomis pestisida kimiawai memang sangat membantu dalam memberantas hama secara cepat dan praktis, namun kita tidak boleh lengah dengan dampak yang lebih besar dalam waktu yang akan datang. Berbagai study penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dampak pestisida kimiawi akan lebih komplek yaitu terhadap lingkungan, karena adanya kesimbangan alam yang terganggu, dan justru bahkan mungkin akan terjadi peledakan hama yang lebih dasyat. Dampak nyata terhadap kesehatan pun akan terjadi karena akumulasi zat kimia  beracun dalam tubuh manusia akan menimbulkan gangguan kesehatan.
Berbagai dampak negatip yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida diatas setidaknya mampu menyadarkan kita untuk beralih kepada bahan organic yang lebih ramah lingkungan. Kitapun berharap semoga bumi  yang kita tempati menjadi lahan yang subur  dan nyaman buat anak cucu kita.    
Saya sangatlah malu untuk menceritakan kembali dongeng orang tua saya 30 tahun yang lalu itu, karena realita yang terjadi sekarang sangatlah berbeda.. Bukan tidak mungkin cerita itu hanya akan menjadi sebuah legenda yang tidak mungkin akan bisa dilihat oleh anak cucu kita.
Tulisan ini saya persembahkan dalam rangka mengikuti beat blog writing contest. Semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita semua. Amin…


Minggu, 16 Januari 2011

MEMAKNAI PERTUMBUHAN EKONOMI BAGI PETANI

Di tengah klaim pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5.9 % pada tahun 2010, rasanya sangat ironis ketika masyarakat masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang semakin meningkat harganya. Kasus “ tiwul racun”, bunuh diri merupakan gambaran nyata keadaan sosial ekonomi di Indonesia.
Memang secara matematis perekonomian kita mengalami pertumbuhan, namun belum bisa dirasakan oleh masyarakat kecil. Hal ini disebabkan oleh pemerataan yang tidak menyentuh kalangan bawah..Yang lebih terpuruk lagi adalah nasib kaum petani yang sebenarnya mereka sangat berjasa dalam penyediaan pangan nasional, namun kesejahteraan bagi mereka tidaklah pernah berubah dan justru mengalami kemunduran. Pemerintah dinilai telah lalai dalam meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kemajuan teknologi pertanian telah memaksa petani utuk bergantung pada pupuk kimiawi yang notabene tidak bisa diproduksi sendiri, obat-obat kimiawi dan benih yang tergantung pada produsen. Produk-produk sarana pertanian yang diproduksi perusahaan asing yang membanjiri Indonesia dirasakan sebagai kehancuran bagi pertanian kita. Petani banyak bergantung pada obat-obat kimiawi yang secara terus-menerus akan menimbulkan kekebalan terhadap organism penganggu tanaman disamping itu juga menyebabkan kerusakan lingkungan.
Petani tidak memiliki nilai tawar yang lebih terhadap hasil pertanian, apalagi ketika penen raya, seakan petani kalah dengan harga yang berlaku di pasaran. Bahkan mereka tak mampu menentukan harga pasar. Kemampuan sumber daya petani yang dinilai masih rendah dan akses mereka terhadap kebijakan publik yang masih kurang dinilai sebagai faktor yang turut memperlambat pembangunan pertanian. Belum lagi petani harus berhadapan dengan perubahan iklim yang tidak menentu sebagai akibat dari pemanasan global.


Kondisi inilah yang membuat nasib petani semakin terpuruk. Pemerintah pun tidak sepenuhnya menetapakan kebijakan yang populis terhadap mereka, Bagiamana tidak? Ditengah kondisi yang demikian justru pemerintah berencana menetapkan bea masuk 0 persen terhadap pangan. Pada kondisi tertentu pembebasan bea masuk memang menguntungkan petani terutama pada produk- produk sarana pertanian, seperti obat-obat pertanian, benih, juga import sapi bakalan sebagai bibit usaha budidaya sapi. Namun untuk bahan pangan yang layak dikonsumsi masyarakat seperti beras, gula, daging, justru akan merusak produksi pertanian kita.
Dari segi permodalan memang pemerintah telah meluncurkan kredit usaha rakyat dengan bunga yang rendah serta sistem penjaminan yang dapat diakses petani melalui bank pelaksana. Namun masih banyak bank enggan untuk mengucurkan kredit di bidang pertanian juga perikanan karena prospek usaha yang kurang menjanjikan. Namun kebijakan ini dinilai tetap belum bisa mengangkat kesejahteraan bagi petani. Petani kita yang rata-rata hanya petani gurem dengan luas lahan berkisar 0.5 – 1 ha tidak mampu lagi menikmati perbaikan kesejahteraan.
Belajar dari berbagai fenomena tersebut hendaknya pemerintah mengubah arah pembangunan pertanian yang lebih populis dan berpihak pada petani.Semoga harapan baru ini segera terwujud sebagai refleksi pemerintah dalam membangun negara agraris.