Total Tayangan Halaman

Minggu, 16 Januari 2011

MEMAKNAI PERTUMBUHAN EKONOMI BAGI PETANI

Di tengah klaim pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5.9 % pada tahun 2010, rasanya sangat ironis ketika masyarakat masih merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang semakin meningkat harganya. Kasus “ tiwul racun”, bunuh diri merupakan gambaran nyata keadaan sosial ekonomi di Indonesia.
Memang secara matematis perekonomian kita mengalami pertumbuhan, namun belum bisa dirasakan oleh masyarakat kecil. Hal ini disebabkan oleh pemerataan yang tidak menyentuh kalangan bawah..Yang lebih terpuruk lagi adalah nasib kaum petani yang sebenarnya mereka sangat berjasa dalam penyediaan pangan nasional, namun kesejahteraan bagi mereka tidaklah pernah berubah dan justru mengalami kemunduran. Pemerintah dinilai telah lalai dalam meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kemajuan teknologi pertanian telah memaksa petani utuk bergantung pada pupuk kimiawi yang notabene tidak bisa diproduksi sendiri, obat-obat kimiawi dan benih yang tergantung pada produsen. Produk-produk sarana pertanian yang diproduksi perusahaan asing yang membanjiri Indonesia dirasakan sebagai kehancuran bagi pertanian kita. Petani banyak bergantung pada obat-obat kimiawi yang secara terus-menerus akan menimbulkan kekebalan terhadap organism penganggu tanaman disamping itu juga menyebabkan kerusakan lingkungan.
Petani tidak memiliki nilai tawar yang lebih terhadap hasil pertanian, apalagi ketika penen raya, seakan petani kalah dengan harga yang berlaku di pasaran. Bahkan mereka tak mampu menentukan harga pasar. Kemampuan sumber daya petani yang dinilai masih rendah dan akses mereka terhadap kebijakan publik yang masih kurang dinilai sebagai faktor yang turut memperlambat pembangunan pertanian. Belum lagi petani harus berhadapan dengan perubahan iklim yang tidak menentu sebagai akibat dari pemanasan global.


Kondisi inilah yang membuat nasib petani semakin terpuruk. Pemerintah pun tidak sepenuhnya menetapakan kebijakan yang populis terhadap mereka, Bagiamana tidak? Ditengah kondisi yang demikian justru pemerintah berencana menetapkan bea masuk 0 persen terhadap pangan. Pada kondisi tertentu pembebasan bea masuk memang menguntungkan petani terutama pada produk- produk sarana pertanian, seperti obat-obat pertanian, benih, juga import sapi bakalan sebagai bibit usaha budidaya sapi. Namun untuk bahan pangan yang layak dikonsumsi masyarakat seperti beras, gula, daging, justru akan merusak produksi pertanian kita.
Dari segi permodalan memang pemerintah telah meluncurkan kredit usaha rakyat dengan bunga yang rendah serta sistem penjaminan yang dapat diakses petani melalui bank pelaksana. Namun masih banyak bank enggan untuk mengucurkan kredit di bidang pertanian juga perikanan karena prospek usaha yang kurang menjanjikan. Namun kebijakan ini dinilai tetap belum bisa mengangkat kesejahteraan bagi petani. Petani kita yang rata-rata hanya petani gurem dengan luas lahan berkisar 0.5 – 1 ha tidak mampu lagi menikmati perbaikan kesejahteraan.
Belajar dari berbagai fenomena tersebut hendaknya pemerintah mengubah arah pembangunan pertanian yang lebih populis dan berpihak pada petani.Semoga harapan baru ini segera terwujud sebagai refleksi pemerintah dalam membangun negara agraris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar